Wednesday, July 22, 2009

Kegundahan Manusia Metropolis

Sastra adalah dunia imajinasi. Tapi tak ada karya sastra paling imajiner yang sanggup memiliki wilayah otonomi mutlak, subjektif, bahkan tiada sangkut pautnya dengan individu atau kalangan tertentu seperti perkataan Adolfo Sanchez Vasquez “sastra lahir dalam kekinian dan kedisinian yang konkret” (Art and Society, Merlin Press, London, 1973). Memang Vasquez dalam buku tersebut menuliskan pandangannya tentang seni (dalam konteks ini adalah sastra) dari kacamata Marxisme. Namun ada satu hal yang mewakili pandangan manapun: karya sastra tak mungkin lahir dari ruang kosong.

Kira-kira seperti itulah novel debutan Charles Michael Palahniuk atau Chuck Palahniuk ini lahir. Alumnus jurnalistik Universitas Oregon yang aktif sebagai jurnalis lepas ini lahir memotret sisi gelap sosok manusia kota di tengah generasi yang terjerumus modernisme semu. Tanda zaman yang seolah-olah baik adanya tapi karena pergerakan yang cepat, kejujuran dan sisi manusiawi menjadi hilang maknanya.

Fight Club (selanjutnya disebut FC) mengisahkan “aku” seorang pegawai biasa yang jenuh dengan rutinitas. Untuk mengalihkan kebosanan ia tiap malam masuk support group atau sharing problem orang-orang dengan masalah kesehatan. Semula keinginannya masuk grup untuk mengalihkan penyakit insomnia-nya. Berbagai obat dan cara tak berhasil. Sang dokter (yang mungkin juga sudah kehabisan akal) menyarankan untuk mengetahui seperti apa itu rasa sakit dengan melihat, misalnya, rasa sakit penderita kanker otak. Maka, masuklah “aku” ke berbagai support group. Misalnya hari Jumat ia mengikuti grup penderita tuberkulosis, hari Rabu tumor kulit, dan Senin penyakit leukemia. Keasyikannya mengikuti berbagai grup itu menemuinya pada kebohongan. Berkali-kali ia menjumpai cerita dalam support group itu ternyata hanya isapan jempol, bahkan dilebih-lebihkan. Tak hanya itu, ia menemui Marla, seorang cewek yang juga gemar mengikuti berbagai support group hadir berkali-kali dengan nama lain, persis seperti “aku”.

“Aku” kemudian menjumpai Tyler yang sepertinya memberi solusi daripada tiap hari menyaksikan kebohongan: mengikuti ada tinju rahasia (fight club). Dalam grup ini tak ada kebohongan: pokoknya bertarung, lepaskan seluruh beban dalam otak! Aturannya mudah, jangan cerita kepada siapapun tentang grup ini. Sebuah keputusan yang edan memang. Bahkan ketika di pagi harinya di kantor, walau dengan wajah babak belur, “aku” lama-lama merasa nyaman. Cerita makin berkembang dengan kejenuhan “aku” dalam grup ketika setelah mengikuti FC begitu banyak orang-orang dalam kehidupan biasa (setidaknya menurut “aku”) ternyata juga anggota FC. Ia heran, bukankah ada aturan tak boleh membicarakan adu tinju gelap ini dengan siapapun? “Aku” kembali gelisah dan sulit memercayai kebenaran lagi. Sosok Tyler menawarkan hal lain, membuat sabun dari lemak manusia dan mengajaknya dalam grup Project Mayhem.

Chuck memang lihai mengolah FC. Memang dalam FC tak ditemui penjelasan latar belakang siapa “aku” karena alur novel ini bergerak maju terus. Tapi, kelihaiannya mengolah FC membuat pembaca tak merasa perlu mengutak-atik siapa “aku” sehingga dapat menghanyutkan kita kepada peristiwa-peristiwa menggetarkan. Uniknya, penggambaran secara detail setting cerita pun jadi tak begitu penting karena dari novel ini terbetik suasana gelisah serta muram dalam kalimat yang singkat.

Sangat jelas aroma eksistensialisme ada di sini meski tanpa metafora karena Chuck adalah tipe penulis tanpa narasi yang berlarat-larat. Tengoklah kalimat (h.81): “Di Hotel Pressman, jika kau bisa bekerja malam hari akan menyulut kebencianmu pada masalah kasta,” kata Tyler. Yeah, kataku, terserahlah. “Mereka membuatmu memakai dasi kupu-kupu, kemeja putih, dan celana panjang hitam,” Dari kalimat berikut sudah tersirat anggapan sinis Tyler kepada kesibukan kota yang mengharuskan menjadi orang lain, bukan diri sendiri, juga strata sosial tak mengenakkan bekerja di hotel. Dan lebih gilanya lagi, di akhir novel kita bakal kaget menemui ending bahwa tokoh “aku” sebagai manifestasi sisi gelap manusia metropolis itu mengalami krisis identitas yang parah, “penyakit” lebih parah ketimbang “main-main” atau insomnia saja: ada sosok lain dalam dirinya!

Kegundahan FC yang naskah aslinya semula berjudul Insomnia: If You Lived Here, You'd Be Home Already memang beda misalnya jika kita membandingkan dengan tokoh yang diperankan Robert de Niro dalam film Taxi Driver, keedanan di balik wajah malaikat dalam film 8MM, novel Catcher in The Rye, American Psycho, atau Vernon God Little walau dalam karya-karya tersebut tersimpan ironi tokoh sejenis: kegundahan manusia metropolis. Kalau rata-rata mereka nyaris berputar hanya pada konflik pribadi atas ketidakpuasannya menghadapi semacam pranata sosial yang mapan, dalam FC, kegundahan tersebut seolah-olah berhasil menemui solusinya.

Meski kegilaan FC bisa jadi dilebih-lebihkan sebagai syarat memikatnya sebuah fiksi, Chuck menemukan kemungkinan tak dikatakan bahwa dalam pergerakan kota yang mapan tetap ada simbol kegelisahan, orang-orang yang kalah atau terperosok untuk menjadi “yang lain”, sebuah manifestasi bahwa manusia dalam kodratnya sebagai homo ludens- pribadi yang suka bermain-main- bisa terjebak pada kodratnya sendiri: menjadi korban dengan terbelenggu pada permainannya atau statis setelah menemukan sesuatu yang menyamankan dirinya. Tokoh Tyler, Marla, dan “aku” dalam FC menyiratkan hal pertama yaitu selain tenggelam dalam kegundahan tak bertepi, ia seperti terangsang menjadi liar, banal, bahkan subversif dalam tatanan hidup yang mapan.

Penerjemahan FC cukup baik. Alur novel yang cepat berhasil dihadirkan dengan lancar walau terbitan edisi bahasa Indonesianya terbilang telat. Filmnya (produksi 1999 oleh sineas David Fincher) yang juga tak kalah kuat dengan novelnya ini bahkan sempat beredar di Indonesia enam tahun lalu.

Chuck Palahniuk

PEMBELAJARAN SASTRA SECARA INTEGRATIF

Akhir-akhir ini berkembang sebuah usulan untuk memisahkan antara pembelajaran bahasa dengan sastra, dimana yang dimaksud tampaknya bahwa ¡§bahasa¡¨ yaitu tatabahasa dan berbagai ketrampilan menulis praktis seperti surat menyurat, membuat ringkasan, resensi, dsb. adalah termasuk dalam jenis ketrampilan yang ¡§teknis¡¨, sementara ¡§sastra¡¨, yaitu penulisan cerpen, puisi, pantun, dsb. adalah kegiatan yang sifatnya adalah ¡§artistik¡¨ yang tidak terlalu menekankan pada ketepatan secara teknis penulisan tapi lebih memerlukan ¡§rasa¡¨. Keduanya dipandang sebagai memiliki paradigma yang berbeda sehingga dirasa perlu untuk memisahkannya.

Di satu sisi, usulan untuk melakukan pemisahan seperti ini adalah usulan yang positif, karena bagaimana pun juga, perbedaan paradigma antara bahasa dan sastra, kalau memang ada dan untuk sementara kita terima saja asumsi ini demi argument, dengan sendirinya akan berdampak pada pengajaran, dimana keduanya akan menjadi sulit untuk dicampur dan jika dipaksakan akan menjadi rancu dan menimbulkan kebingungan pada siswa, misalnya menulis korespondensi bisnis dengan menggunakan metafora-metafora puitis atau membuat cerpen yang berisi daftar inventaris, yang tentunya juga tidak kita harapkan.

Namun di sisi lain, ada sejumlah hambatan yang akan ditemui jika usulan itu benar-benar dilaksanakan. Yang pertama, membagi sebuah rencana pengajaran yang pada mulanya satu menjadi dua akan memerlukan penambahan sumber daya, yaitu misalnya jam tatap muka harus ditambah, buku teksnya harus ditambah, persiapan gurunya harus bertambah karena sekarang harus menyiapkan dua mata pelajaran dan bahkan di sekolah-sekolah tertentu, itu tidak menutup kemungkinan untuk mengharuskan adanya penambahan ruang kelas khusus untuk pengajaran sastra yang berbeda dari pengajaran bahasa, belum termasuk alat-alat dan media pembelajaran penunjang, menambah jumlah jam pelajaran yang harus diatur jadwalnya oleh bagian kurikulum atau bahkan mengharuskan adanya penambahan jumlah guru. Dan perlu diperhatikan juga bahwa paradigma artistik dari pembelajaran sastra memerlukan adanya intensitas yang lebih tinggi dalam pembelajaran. Hal ini akan membawa beberapa konsekwensi tertentu seperti, memunculkan kebutuhan untuk membatasi jumlah siswa per kelas yang bisa ditangani guru, yang bisa dipenuhi dan bisa tidak dalam implementasinya nanti, dengan segala konsekwensinya. Dampak dari kesulitan ini adalah bahwa pelaksanaan pengajaran akan lebih menekankan pada yang satu dengan mengabaikan pada yang lain:

Kenyataan bahwa pengajaran sastra di SMP maupun SMA bukan berupa program pengetahuan budaya. Sastra Indonesia hanya semata-mata menumpang pada pengajaran bahasa Indonesia dan diberikan hanya selama 2-3 jam per minggu.

Pengajaran sastra di sini lebih banyak kegiatannya untuk mempelajari ragam bahasa, di sisi-sisi ragam bahasa lainnya. Hal ini terlihat bahwa pembobotan beban materinya hanya seperenam dari seluruh materi bidang studi/mata pelajaran Bahasa Indonesia, dengan nama pokok bahasan Apresiasi Bahasa dan Sastra Indonesia. Dengan pemberian nama ini sudah terlihat terjadinya penyempitan kedudukan sastra.

Sementara itu, meskipun pada kurikulum 1994 masih juga terasa adanya upaya mengintegralkan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, kurikulum 1994 memberi penekanan akan pentingnya membaca secara langsung karya-karya sastra, dan bukan sekadar membaca ringkasan atau sinosipnya. Namun demikian, di dalam praktiknya, pembelajaran sastra ibarat anak tiri yang hampir-hampir tidak mendapat perhatian yang selayaknya dari para guru. Para guru yang mengajar sastra hampir selalu merupakan juga guru yang mengajar bahasa. Hal semacam ini sebenarnya tidak menjadi masalah sekiranya para guru itu juga mempunyai perhatian yang sama besarnya; namun kenyataan cenderung mampu membuktikan bahwa umumnya para guru itu sekadar menyambi saja tugas sebagai pengajar sastra. Kendati demikian, jika diamati secara saksama, realitas yang semacam ini bukan sepenuhnya kesalahan para guru melainkan kesalahan paradigma pengajaran maupun pembelajaran bahasa dan sastra yang pernah diterima oleh para guru itu ketika mereka masih dalam pendidikan.

Selain dari masalah penambahan sumber daya manusia dan infrastruktur yang diperlukan ketika pengajaran sastra dipisahkan dari pengajaran bahasa secara umum, ada lagi faktor yang perlu diperhatikan yaitu tentang persepsi terhadap sastra. Dalam model pengajaran yang biasa digunakan selama ini, pengajaran sastra lebih banyak menggunakan pendekatan historis, yaitu sastra bukan sebagai pengalaman artistik melainkan sastra sebagai sejarah sastra. Di sini sastra diajarkan sebagai tonggak-tonggak prestasi dalam perkembangan historis yang dikaitkan dengan ideologi nasionalisme, sehingga materi yang dikupas dalam pelajaran sastra cenderung berupa sederetan nama dan karya yang diberi patok-patok penanda berupa tahun dan era atau gerakan. Ini membuat sastra dipersepsi sebagai materi hafalan yang jauh dari paradigma seni dalam sastra.

Selain itu tugas guru Bahasa dan Sastra Indonesia akan semakin berat jika dihadapkan pada asumsi umum yang mengatakan bahwa Sastra bukanlah kebutuhan yang mendesak dalam masyarakat Indonesia saat ini. Hal ini terjadi karena masyarakat kita saat ini sedang mengarah ke masyarakat industri. Sehingga konsep-konsep yang berkaitan dengan sains, teknologi, dan kebutuhan fisik dianggap lebih penting dan mendesak untuk digapai. Perhatian para siswa dan pengelola sekolah terhadap mata pelajaran yang berkaitan dengan sains, teknologi, dan kebutuhan fisik jauh lebih besar dibandingkan dengan matapelajaran humaniora. Kegiatan kesusastraan yang bersifat kompetitif hanya dilakukan sekali setahun dalam rangka memperingati Sumpah Pemuda, itupun hanya sebatas ritual tahunan yang bertajuk Bulan Bahasa. Kegiatan yang dilombakan terasa monoton dan tidak menggugah minat siswa lebih jauh pada nilai kesusatraan itu sendiri. Ajang-ajang kompetisi di tingkat nasional masih jarang kita temui yang menyangkut pelajaran sastra. Ini semakin membuktikan bahwa pelajaran bahasa dan sastra adalah pelajaran ¡§anak tiri¡¨ yang dimanja dengan banyaknya jam pelajaran tetapi tidak diperhatikan dari sisi guna manfaatnya.

Namun sebenarnya tujuan yang ingin dicapai dalam memisahkan antara bahasa dengan sastra dalam pengajaran bahasa Indonesia bukannya tidak bisa dicarikan jalan keluarnya. Bagaimana pun juga, argumen tentang pemisahan antara bahasa dan sastra yang didasarkan pada perbedaan paradigma antara keduanya adalah argumen yang kuat, karena memang dalam kenyataannya paradigma artistik selalu memiliki nuansa non-fungsional di dalamnya, sementara paradigma bahasa sebagai ilmu bahasa, seperti pada linguistik, semantik, semiotik, dsb., dan juga bahasa sebagai ketrampilan komunikasi praktis dengan sendirinya memiliki kadar yang sangat kuat akan kebutuhan fungsional yang pragmatis dan non-artistik.

Namun untuk mengaplikasikan perbedaan paradigma bahasa versus sastra itu dalam pengajaran, tidak perlu harus disertai dengan implementasi secara kurikuler yang membagi-baginya berdasarkan perbedaan paradigmatis. Justru sebaliknya, penulis memandang bahwa solusinya terletak pada pengintegrasian kegiatan pengajaran itu sendiri. Ini bisa dilakukan dengan menggunakan pengajaran tematis yang melibatkan disiplin di luar bahasa atau pendekatan lintas disipliner (cross-discipline). Sebagai contoh, guru bahasa Indonesia bisa mengajarkan tentang pantun lama dengan cara bekerjasama dengan guru bidang lain, misalnya guru bidang Pendidikan Moral. Dalam sesi tatap muka dengan guru Bahasa Indonesia, siswa akan diberi aspek-aspek teknis tentang pantun, seperti konsep sampiran dan isi, konsep persajakan, dan beberapa contoh karya pantun lama.

Kemudian siswa diminta untuk mencoba membuat pantun sendiri dengan kreatifitas mereka masing-masing dengan mengambil tema dari Pendidikan Moral, yaitu pantun didaktis yang berisi ajakan-ajakan atau pesan-pesan moral. Hal serupa juga bisa diterapkan untuk pelajaran drama, dimana guru Bahasa Indonesia bekerjasama dengan guru sejarah. Siswa bisa diberi instruksi tentang aspek-aspek teknis dari drama dan kemudian diminta untuk membuat pertunjukan drama dengan mengambil tema dari pelajaran sejarah yang sedang diberikan pada saat itu, mungkin misalnya mengadegankan kepahlawanan Diponegoro saat ditangkap Jendral De Kock sebagai bentuk ekspresi dari tragedi. Dalam kegiatan seperti ini kelas akan ditangani oleh dua guru sekaligus. Pembelajaran dengan pola pengajaran tim (team teaching) berdasar tema bukan rumpun dan bersifat sementara.

Dengan pola seperti ini siswa akan mendapat dua nilai sekaligus dalam satu kegiatan pembelajaran, yaitu mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dan mata pelajaran yang dipadukan materinya, dalam dua contoh di atas disebutkan mata pelajaran Sejarah dan Pendidikan Moral, dan ini tidak menutup kerjasama dengan yang lainnya. Mengingat begitu banyaknya Kompetensi Dasar yang harus dicapai oleh siswa dalam satu tahun pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.

Diharapkan bahwa dengan cara ini, kekhawatiran tentang masalah kekurangan sumber daya yang terkait dengan kebutuhan untuk membuat kelas baru bagi sastra yang terpisah dari kelas bahasa bisa diatasi karena dengan cara ini sebenarnya tidak memerlukan tambahan sumber daya baru dan bisa memanfaatkan sumber daya yang sudah ada. Efesiensi waktu pembelajaran juga bisa diperoleh dengan kegiatan ini. Beban siswa terhadap standart kompetensi yang disusun dalam silabus masing-masing guru mata pelajaran bisa terpenuhi dengan tidak terlalu banyak pengulangan. Di sisi lain, ini sekaligus bisa mengatasi kesulitan dalam mempertahankan minat siswa untuk belajar sastra yang ditimbulkan oleh persepsi bahwa sastra adalah hafalan semata. Mengadakan kegiatan yang melibatkan siswa secara aktif ini akan meningkatkan kompetensi siswa dalam sastra tanpa harus menambah rasa kebosanan mereka dan sekaligus membuat pengajaran bahasa dan sastra Indonesia menjadi lebih menarik dan meningkatkan daya kreasi siswa.

Mohammad Arif